Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Krisis Kepercayaan Publik dan Ilusi Rekonsiliasi Politik: Suara dari Rakyat

Kalian Ingin Berdamai dengan Rezim Curang

*Penulis: Dicky

Proses demokrasi di Indonesia kembali tercoreng oleh sikap sejumlah elite politik. Ketika proses hukum terkait sengketa pemilu masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK), sebagian elite justru mulai menggaungkan wacana rekonsiliasi. Ini terjadi di tengah berbagai tanda tanya besar yang belum terjawab: lebih dari 600 petugas KPPS meninggal dunia tanpa kejelasan penyebab, dan insiden 21-22 Mei yang menelan korban jiwa pun belum menemukan titik terang hukum.

Alih-alih menuntaskan proses hukum secara adil dan transparan, para pengusung rekonsiliasi tampak tergesa-gesa menawarkan bagi-bagi kekuasaan. Mereka tampaknya menganggap bahwa konflik ini hanyalah pertikaian antar elite partai politik — dan bukan soal ketidakpuasan publik yang meluas. Lebih miris lagi, ada anggapan bahwa masyarakat dapat kembali dibujuk dengan janji dan retorika kosong.

Namun realitas di lapangan berkata lain. Perlawanan terhadap ketidakadilan ini berasal dari rakyat, bukan semata dari pasangan calon presiden tertentu. Ketidakridhoan atas dugaan kecurangan pemilu adalah suara hati rakyat luas, bukan hanya milik satu kubu politik.

Ketika Prabowo Subianto menghimbau pendukungnya untuk tidak hadir di MK, sebagian rakyat mungkin memahami alasan politik di balik imbauan tersebut. Namun, banyak yang merasa bahwa perjuangan menuntut keadilan ini telah melampaui batas dukungan kepada tokoh — ini adalah perjuangan moral dan hak konstitusional warga negara.

Rakyat merasa perlu hadir langsung untuk mengawasi jalannya proses hukum. Kepercayaan terhadap lembaga peradilan kian terkikis, dan tanpa pengawasan publik, dikhawatirkan keadilan tak akan ditegakkan secara utuh. Maka, rekonsiliasi antar elite tidak akan menyelesaikan persoalan. Persatuan sejati hanya akan terwujud jika pemerintah mengakui adanya ketidakberesan dan bersedia mengembalikan keadilan kepada rakyat.

Jika rekonsiliasi hanya dimaknai sebagai proses kompromi politik tanpa menyentuh akar persoalan, maka hal itu tak lebih dari formalitas yang menyakitkan hati rakyat. Bahkan bisa menjadi bentuk pengkhianatan terhadap mereka yang telah berkorban demi demokrasi yang sehat.

Ini adalah seruan moral dan sekaligus peringatan keras. Pemerintah harus menunjukkan integritas dalam menyelesaikan sengketa pemilu. Dan kepada tokoh-tokoh politik, terutama Prabowo Subianto, rakyat berharap agar komitmen bersama tetap dijaga. Jangan tinggalkan rakyat demi kenyamanan kekuasaan.

Seperti leluhur kami yang memperjuangkan kemerdekaan dengan penuh keberanian, kami pun memilih untuk tetap berdiri di garis perjuangan, bukan bersalaman di atas panggung kekuasaan yang dibangun di atas luka dan penderitaan bangsa.

Berita lainnya

Andi Arief Wanti-wanti Ridwan Kamil Soal Jejaring Peternak China Di Kawasan Gunung Padang

Wiranto: Mana Dia? Di Depan? Tidak Ada, Hilang, Pengecut

Tim Hukum Prabowo Cemooh Saksi Ahli Jokowi: Pawang Ular di Seminar Gajah

Jenderal Gatot Nurmantyo: Purnawirawan Harus Bangkit atau Negara Punah

Wiranto Ancam Tindak Tegas Aksi Demo di Sekitar MK Jelang Putusan Pilpres 2019

Posting Komentar untuk "Krisis Kepercayaan Publik dan Ilusi Rekonsiliasi Politik: Suara dari Rakyat"